Selasa, 15 Maret 2011

Ahmadiah dan Pluralitas Beragama (Toleransi Beragama)

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
(QS Ali’Imran [3]:19)

Ahmadiah dan Mirza Ghulam Ahmad:
Ahmadiyah Adalah agama yang diyakini oleh para pengikutnya dikenal juga dengan nama Qadianiyah atau Mirzaiyah, beranggapan bahwa ajarannya adalah berdasarkan pada ajaran Islam yang benar di dirikan oleh seorang Qadiyan yang mengaku dirinya Nabi, bernama Mirza Ghulam Ahmad pada tanggal 23 Maret 1889 (Azar), disebuah kota yang bernama Ludhiana di Punjab, India. Negeri ini oleh orang-orang Ahmadi disebut “Darul Bai’at”, berpegang teguh pada kitab suci mereka yakni tadzkirah. Tujuan para penganut Ahmadiyah adalah mengajak orang-orang Islam untuk membenarkan pengakuan Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani bahwa dialah yang dijanjikan, dan dia juga Al-Mahdy (yang ditunggu-tunggu) yang kedatangannya akan terjadi di akhir zaman.
Pemahaman beragama kerapkali menjadi jurang pemisah antara manusia dan manusia bahkan Islam dan Islam yang berwarna-warni, seyogyanya pemahaman pada agama adalah proses ritualisasi penghambaan seorang hamba kepada Tuhannya baik di dunia hingga pertanggungjawabannya di akhirat yang mana berimplementasi terhadap ciptaan Tuhan yang bertebaran di alam semesta ini, yakni menghargai sesama dan menerima berbagai macam perbedaan yang ada, namun pemahaman terhadap kemanusiaan ini justru acapkali diabaikan oleh segelintir orang dengan arogansi keberagamaannya.
Ahmadiah terlahir dengan keyakinan yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad yang meyakini dirinya adalah Nabi akhir zaman terlepas dari ketentuan Allah dalam al-Quran bahwa agama yang di ridhoi Nya(diterimaNya) adalah Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai “khatamul anbiya” Nabi akhir zaman.

Allah SWT menegaskan dalam firmanNya:

وَمَنيَبْتَغِغَيْرَالإِسْلاَمِدِينًافَلَنيُقْبَلَمِنْهُوَهُوَ فِيالآخِرَةِمِنَالْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
( Qs. Al-Imran : 85 )

Pentingnya Toleransi Beragama:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan dalam masuk ke dalam agama Islam, karena telah jelas antara petunjuk dari kesesatan. Maka barangsiapa yang ingkar kepada thoghut dan beriman kepada Alloh sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang kuat yang tidak akan pernah putus. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ( Qs. Al-Baqoroh : 256 )
Dari ayat diatas menjelaskan bahwa Islam melarang ummatnya untuk memaksa seseorang agar dapat memeluk islam, hal ini menggambarkan keaadan yang telah terjadi akhir-akhir ini, dimana kelompok Islam bersitegang terhadap kelompok Ahmadiah yang di cetuskan oleh Mirza Ghulam Ahmad itu, telah menimbulkan permasalahan yang sangat krusial hingga ketingkat pemerintahan terhadap fatwa sesat Ahmadiayah agar supaya di bubarkan dari Indonesia karena telah banyak memicu kerusuhan dan perusakan atas nama SARA, fenomena ini dapat digambarkan bahwa tidak terciptanya toleransi beragama, khususnya di bumi pertiwi Indonesia kita.

Sesatkah Ahmadiah???......
Ingatkah kita akan cerita dalam sejarah Islam di masa Rasulullah SAW ada seseorang yang mengaku nabi hingga dia dijuluki sebagai “al-kaddzab” yang artinya adalah “si pembohong/ pendusta” dia bernama Musailamah Al-Kaddzab. Karena Musailamah benar-benar telah berdusta dengan mengaku dirinya sebagai nabi. Selain mengaku nabi, Musailamah juga merasa mampu menandingi ayat Al-Qur’an dengan gubahannya sendiri “Ad Difda’u” atau Katak. Kisah kesesatan ini terulang ketika Mirza pun mengakui dirinya adalah nabi dan rasul akhir zaman yang mendadapatkan wahyu setelah ia berkunjung dari sebuah makam dan melakukan petualangannya ke berbagai negara Islam yang berada di timur tengah, Mirza pun melakukan Pembajakan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dengan memasukkan perkataan nya ke dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an dan menamakannya dengan kitab Tadzkirah. Berikut ini adalah sepenggal kutipan kitab suci mereka:
“Apabila engkau (Mirza) berniat untuk mengerjakan pekerjaan yang besar, maka bertawakallah kepada Allah, dan jadikanlah perahu (jema’at di hadapan Kami menurut wahyu Kami). Orang-orang yang mengambil bai’at kepada engkau (yakni murid-murid engkau), mereka bai’at kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka”.
(Kitab “Suci” Tadzkirah, hal 163).
Kutipan di atas “perahu”, menurut Mirza adalah di nisbahkan kepada perahu nabi Nuh AS barangsiapa yang tidak mau ikut serta dalam bahteranya maka sama halnya yang terjadi terhadap kaum Nabi Nuh AS, maka akan tenggelamlah mereka kedalam api neraka. Adapun keanehan serta beberapa penyimpangan Ahmadiah adalah mengkutip dan memenggal isi Al-Quran dengan bahasa Mirza hal ini jelas membuktikan bahwa Ahmadiah benar-benar sesat dan menyesatkan, bukan bagian dari Islam juga bukan pula agama baru yang di turunkan Allah SWT ke bumi, karena Ahmadiah cetusan Mirza Ghulam Ahmad ini memiliki kitab suci Tadzkirah bukan Al-Quran dan memiliki ajaran sendiri yang banyak menyimpang dari nilai-nilai Islam. “wallahu ‘alam bissawab”.
Dengan sepenggal kisah diatas Marilah kita tingkatkan Ibadah dan Iman kita kepada Allah dengan mengerjakan semua apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangannya, serta mensyukuri nikmatNya dan melakukan ibadah serta shalat sebagai amalan tabungan kita di akhirat kelak dan menjadikan Al-Quran sebagai pedoman yang tak lekang oleh waktu. Amin ya rabbal’alamin.