Selasa, 15 Maret 2011

Ahmadiah dan Pluralitas Beragama (Toleransi Beragama)

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
(QS Ali’Imran [3]:19)

Ahmadiah dan Mirza Ghulam Ahmad:
Ahmadiyah Adalah agama yang diyakini oleh para pengikutnya dikenal juga dengan nama Qadianiyah atau Mirzaiyah, beranggapan bahwa ajarannya adalah berdasarkan pada ajaran Islam yang benar di dirikan oleh seorang Qadiyan yang mengaku dirinya Nabi, bernama Mirza Ghulam Ahmad pada tanggal 23 Maret 1889 (Azar), disebuah kota yang bernama Ludhiana di Punjab, India. Negeri ini oleh orang-orang Ahmadi disebut “Darul Bai’at”, berpegang teguh pada kitab suci mereka yakni tadzkirah. Tujuan para penganut Ahmadiyah adalah mengajak orang-orang Islam untuk membenarkan pengakuan Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani bahwa dialah yang dijanjikan, dan dia juga Al-Mahdy (yang ditunggu-tunggu) yang kedatangannya akan terjadi di akhir zaman.
Pemahaman beragama kerapkali menjadi jurang pemisah antara manusia dan manusia bahkan Islam dan Islam yang berwarna-warni, seyogyanya pemahaman pada agama adalah proses ritualisasi penghambaan seorang hamba kepada Tuhannya baik di dunia hingga pertanggungjawabannya di akhirat yang mana berimplementasi terhadap ciptaan Tuhan yang bertebaran di alam semesta ini, yakni menghargai sesama dan menerima berbagai macam perbedaan yang ada, namun pemahaman terhadap kemanusiaan ini justru acapkali diabaikan oleh segelintir orang dengan arogansi keberagamaannya.
Ahmadiah terlahir dengan keyakinan yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad yang meyakini dirinya adalah Nabi akhir zaman terlepas dari ketentuan Allah dalam al-Quran bahwa agama yang di ridhoi Nya(diterimaNya) adalah Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai “khatamul anbiya” Nabi akhir zaman.

Allah SWT menegaskan dalam firmanNya:

وَمَنيَبْتَغِغَيْرَالإِسْلاَمِدِينًافَلَنيُقْبَلَمِنْهُوَهُوَ فِيالآخِرَةِمِنَالْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
( Qs. Al-Imran : 85 )

Pentingnya Toleransi Beragama:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan dalam masuk ke dalam agama Islam, karena telah jelas antara petunjuk dari kesesatan. Maka barangsiapa yang ingkar kepada thoghut dan beriman kepada Alloh sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang kuat yang tidak akan pernah putus. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ( Qs. Al-Baqoroh : 256 )
Dari ayat diatas menjelaskan bahwa Islam melarang ummatnya untuk memaksa seseorang agar dapat memeluk islam, hal ini menggambarkan keaadan yang telah terjadi akhir-akhir ini, dimana kelompok Islam bersitegang terhadap kelompok Ahmadiah yang di cetuskan oleh Mirza Ghulam Ahmad itu, telah menimbulkan permasalahan yang sangat krusial hingga ketingkat pemerintahan terhadap fatwa sesat Ahmadiayah agar supaya di bubarkan dari Indonesia karena telah banyak memicu kerusuhan dan perusakan atas nama SARA, fenomena ini dapat digambarkan bahwa tidak terciptanya toleransi beragama, khususnya di bumi pertiwi Indonesia kita.

Sesatkah Ahmadiah???......
Ingatkah kita akan cerita dalam sejarah Islam di masa Rasulullah SAW ada seseorang yang mengaku nabi hingga dia dijuluki sebagai “al-kaddzab” yang artinya adalah “si pembohong/ pendusta” dia bernama Musailamah Al-Kaddzab. Karena Musailamah benar-benar telah berdusta dengan mengaku dirinya sebagai nabi. Selain mengaku nabi, Musailamah juga merasa mampu menandingi ayat Al-Qur’an dengan gubahannya sendiri “Ad Difda’u” atau Katak. Kisah kesesatan ini terulang ketika Mirza pun mengakui dirinya adalah nabi dan rasul akhir zaman yang mendadapatkan wahyu setelah ia berkunjung dari sebuah makam dan melakukan petualangannya ke berbagai negara Islam yang berada di timur tengah, Mirza pun melakukan Pembajakan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dengan memasukkan perkataan nya ke dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an dan menamakannya dengan kitab Tadzkirah. Berikut ini adalah sepenggal kutipan kitab suci mereka:
“Apabila engkau (Mirza) berniat untuk mengerjakan pekerjaan yang besar, maka bertawakallah kepada Allah, dan jadikanlah perahu (jema’at di hadapan Kami menurut wahyu Kami). Orang-orang yang mengambil bai’at kepada engkau (yakni murid-murid engkau), mereka bai’at kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka”.
(Kitab “Suci” Tadzkirah, hal 163).
Kutipan di atas “perahu”, menurut Mirza adalah di nisbahkan kepada perahu nabi Nuh AS barangsiapa yang tidak mau ikut serta dalam bahteranya maka sama halnya yang terjadi terhadap kaum Nabi Nuh AS, maka akan tenggelamlah mereka kedalam api neraka. Adapun keanehan serta beberapa penyimpangan Ahmadiah adalah mengkutip dan memenggal isi Al-Quran dengan bahasa Mirza hal ini jelas membuktikan bahwa Ahmadiah benar-benar sesat dan menyesatkan, bukan bagian dari Islam juga bukan pula agama baru yang di turunkan Allah SWT ke bumi, karena Ahmadiah cetusan Mirza Ghulam Ahmad ini memiliki kitab suci Tadzkirah bukan Al-Quran dan memiliki ajaran sendiri yang banyak menyimpang dari nilai-nilai Islam. “wallahu ‘alam bissawab”.
Dengan sepenggal kisah diatas Marilah kita tingkatkan Ibadah dan Iman kita kepada Allah dengan mengerjakan semua apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangannya, serta mensyukuri nikmatNya dan melakukan ibadah serta shalat sebagai amalan tabungan kita di akhirat kelak dan menjadikan Al-Quran sebagai pedoman yang tak lekang oleh waktu. Amin ya rabbal’alamin.

Jumat, 25 Februari 2011

Bid‘ah adalah

Bid‘ah (Bahasa Arab: بدعة) dalam agama Islam berarti sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Hukum dari bidaah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.

Pemakaian kata tersebut di antaranya ada pada :

Firman Allah ta’ala : بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ

” (Dialah Allah) Pencipta langit dan bumi.” (Q.s.2:117)

Firman Allah ta’ala : قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ

” Katakanlah (hai Muhammad), “ Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rosul-rosul.” (Q.s:46:9)

Perkataan اِبتدع فلانٌ بدعة

Maknanya: Dia telah merintis suatu cara yang belum pernah ada yang mendahuluinya.

Perkataan هذاأمرٌبديعٌ

Maknanya: sesuatu yang dianggap baik yang kebaikannya belum pernah ada yang menyerupai sebelumnya. Dari makna bahasa seperti itulah pengertian bid’ah diambil oleh para ulama.

Jadi membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikuti disebut bid’ah (dalam segi bahasa).
Sesuatu perkerjaan yang sebelumnya belum perna dikerjakan orang juga disebut bid’ah (dalam segi bahasa).
Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah (agama) tanpa adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya (tidak ditemukan perkara tersebut) pada zaman Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam maka inilah makna bid’ah sesungguhnya.


Secara umum, bid'ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama (artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama/ibadah).

Para ulama [1] salaf telah memberikan beberapa definisi bidah. Definisi-definisi ini memiliki lafadl-lafadlnya berbeda-beda namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,Bidah dalam agama adalah perkara yang dianggap wajib maupun sunnah namun yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka harus diketahui dengan dalil-dalil syariat.

Imam Syathibi, bid'ah dalam agama adalah Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah.

Ibnu Rajab, Bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat maka bukanlah bidah, walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa

Imam as-Suyuthi, beliau berkata, Bidah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.

Dengan memperhatikan definisi-definisi ini akan nampak tanda-tanda yang mendasar bagi batasan bidah secara syariat yang dapat dimunculkan ke dalam beberapa point di bawah ini :

Bahwa bidah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan bidah.
Bahwa bidah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bidah, walupun tidak ditentukan oleh nash secara khusus. Misalnya adalah apa yang bisa kita lihat sekarang: orang yang membuat alat-alat perang seperti kapal terbang,roket, tank atau selain itu dari sarana-sarana perang modern yang diniatkan untuk mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan membela kaum muslimin maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan itu syariat tidak memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak mempergunakan senjata itu ketika bertempur melawan orang-orang kafir. Namun demikian pembuatan alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman firman Allah taala,Dan persiapkanlah oleh kalian untuk mereka (musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi.Demikian pula perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-apa yang mempunyai asal dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah.
Bahwa bidah semuanya tercela (hadits Al 'Irbadh bin Sariyah dishahihkan oleh syaikh Al Albani di dalam Ash Shahiihah no.937 dan al Irwa no.2455)
Bahwa bidah dalam agama kadang-kadang menambah dan kadang-kadang mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi penambahan selain agama, bukanlah bidah. Contohnya meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bidah. Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bidah. Masalah ini akan diterangkan nanti dengan beberapa contohnya ketika membahas pembagian bidah. InsyaAllah.

Bidah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syariat.Menuduh Rasulullah Muhammad SAW menghianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui bahwa semua bid'ah dalam perkara ibadah/agama adalah haram atau dilarang sesuai kaedah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid'ah hasanah jika dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang banyak, namun masih relevan jika dikaitkan dengan hal-hal baru selama itu berupa urusan keduniawian murni misal dulu orang berpergian dengan unta sekarang dengan mobil, maka mobil ini adalah bid'ah namun bid'ah secara bahasa bukan definisi bid'ah secara istilah syariat dan contoh penggunaan sendok makan, mobil, mikrofon, pesawat terbang pada masa kini yang dulunya tidak ada inilah yang hakekatnya bid'ah hasanah. Dan contoh-contoh perkara ini tiada lain merupakan bagian dari perkara Ijtihadiyah
Allah-green.svg Artikel bertopik Islam ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

siapa itu habib?

Sebutan/gelar habib di kalangan Arab-Indonesia dinisbatkan secara khusus terhadap keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib atau keturunan dari orang yang bertalian keluarga dengan Nabi Muhammad (sepupu Nabi). Habib yang datang ke Indonesia mayoritas adalah keturunan Husain bin Fatimah binti Muhammad. Gelar Habib tersebut terutama ditujukan kepada mereka yang memiliki pengetahuan agama Islam yang mumpuni dari golongan keluarga tersebut. Gelar Habib juga berarti panggilan kesayangan dari cucu kepada kakeknya dari golongan keluarga tersebut. Diperkirakan di Indonesia terdapat sebanyak 1,2 juta orang yang masih hidup yang berhak menyandang sebutan ini.[rujukan?] Di Indonesia, habib semuanya memiliki moyang yang berasal dari Yaman, khususnya Hadramaut. Berdasarkan catatan organisasi yang melakukan pencatatan silsilah para habib ini, Ar-Rabithah,[1] ada sekitar 20 juta orang di seluruh dunia yang dapat menyandang gelar ini (disebut muhibbin) dari 114 marga. Hanya keturunan laki-laki saja yang berhak menyandang gelar habib.
Dalam perkembangannya, khususnya di kalangan masyarakat muslim Indonesia, gelar ini tidak hanya disandang oleh para da'i dari Yaman saja, karena warga telah memuliakan mereka sebagai pemimpin mereka tanpa melihat asal-usul keturunan dengan alasan seorang menjadi alim tidak diakibatkan oleh asal keturunannya. Selain itu terjadi pula pelanggaran terhadap aturan, dengan menarik garis keturunan secara matrilineal (keturunan dari perempuan juga diberi hak menyandang "habib") walaupun akhirnya pernyataan ini hanyalah sebuah fitnah dari kaum orientalis untuk menghilangkan rasa hormat masyarakat ndonesia terhadap kaum kerabat Nabi Muhammad.
Para habib sangat dihormati pada masyarakat muslim Indonesia karena dianggap sebagai tali pengetahuan yang murni, karena garis keturunannya yang langsung dari Nabi Muhammad. Penghormatan ini sangat membuat gusar para kelompok anti-sunnah yang mengkait-kaitkan hal ini dengan bid'ah. Para Habaib (jamak dari Habib) di Indonesia sangatlah banyak memberikan pencerahan dan pengetahuan akan agama islam. Sudah tak terhitung jumlah orang yang akhirnya memeluk agama islam ditangan para Habaib. Gelar lain untuk habib adalah Sayyid, Syed, Sidi (Sayyidi), Wan (Ahlul Bait) dan bagi golongan ningrat (kerajaan) disebut Syarif/Syarifah. Semenetara itu di Indonesia khususnya Jawa Barat dari keturunan Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, sebagai kerurunan Syarif Hidayatulah keturunan merekapun berhak menyandang gelar Syarif/Syarifah, namun dari keturunan [Syarif Hidayatullah] gelar tersebut akhirnya dilokalisasi menjadi Pangeran,[Tubagus]]/Ratu (Banten),Raden (Sukabumi, Bogor),Ateng (Cianjur), Aceng (Garut). Para habib terdapat pada golongan (firqoh) Sunni maupun Syiah seperti Ayatullah Ruhollah Khomeini. Kelak di akhir zaman, Imam Mahdi akan muncul dari keturunan Nabi Muhammad sendiri (habib).

MACAM-MACAM SHOLAT SUNNAH RAWATIB

1. Sholat sunat rawatib muakkad

Yaitu sholat rawatib yang sangat diutamakan (yang tingkat kesunahannya lebih tinggi, karena Rasulullah saw dahulu sering melakukannya). Sholat sunnah rawatib muakkad ini diantaranya adalah sholat sunnah yang dilakukan pada waktu:

a) Sebelum shubuh dua rokaat

b) Sebelum dhuhur dua rokaat

c) Sesudah dhuhur dua rokaat

d) Sesudah maghrib dua rokaat

e) Sesudah isya dua rokaat

“Dari Aisyah ra, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Dua rakaat fajar (qabliyah subuh) itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar ra berkata, “Aku menjaga 10 rakaat dari nabi saw: 2 rakaat sebelum sholat Dhuhur,2 rakaat sesudahnya,2 rakaat sesudah sholat Maghrib, 2 rakaat sesudah sholat Isya dan 2 rakaat sebelum sholat Shubuh. (HR. Muttafaqun ‘alaih)

2. Sholat sunat rawatib ghoiru muakkad

Yaitu sholat sunnah rawatib yang tidak terlalu diutamakan.

a) Dua atau empat rakaat sebelum sholat Ashar

Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Semoga Allah SWT mengasihi seseorang yang sholat 4 rakaat sebelum sholat Ashar.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirimizi dan Ibnu Khuzaemah).

b) Dua rakaat sebelum sholat Maghrib

Dari Abdullah bin Mughaffal ra. ia berkata: Nabi saw bersabda, “Di antara adzan dan iqomah ada sholat, di antara adzan dan iqomah ada sholat (kemudian dikali ketiga beliau berkata:) bagi siapa yang mau.” Beliau takut hal tersebut dijadikan oleh orang-orang sebagai keharusan. (HR Bukhari No. 627 dan Muslim No. 838)

Dan dalam riwayat Abu Daud, “Sholatlah kalian sebelum Maghrib dua rakaat.” Kemudian beliau bersabda, “Sholatlah kalian sebelum Maghrib dua rakaat bagi yang mau.” Beliau takut prang-orang akan menjadikannya sholat sunnah. (HR Abu Daud No. 1281)

c) Dua rakaat sebelum sholat Isya

Ibnu Umar ra. berkata : Saya sholat bersama Rasulullah saw dua rakaat sebelum dhuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah jum’ah dan dua rakaat sesudah maghrib serta dua rakaat sesudah isya. (HR. Bukhari, Muslim)

Sholat Sunnah Rawatib Ba’diyah (Sesudah ‘Ashar)

Tidak seluruh sholat fardhu yang lima waktu dapat atau boleh diikuti dengan sholat sunnah rawatib (ba’diyah). Sholat shubuh dan sholat ‘ashar merupakan sholat fardhu yang tidak boleh diikuti dengan sholat sunnah rawatib ba’diyah, karena Rasulullah saw telah melarang umatnya untuk mengerjakan sholat sunnah ba’diyah shubuh maupun ba’diyah ‘ashar. Rasulullah saw bersabda:

Dari Abi Said Al-Khudri ra. berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,“Tidak ada sholat setelah sholat shubuh hingga matahari terbit. Dan tidak ada sholat sesudah sholat ‘Ashar hingga matahari terbenam. (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian jelas bahwa haram hukumnya mengerjakan sholat sunnah ba’diyah shubuh maupun ba’diyah ‘ashar.

Keutamaan Sholat Sunnah Rawatib

Allah swt akan memberikan ganjaran yang sangat besar kepada hamba-Nya yang senantiasa menjadikan sholat sunnah rawatib sebagai amalan yang kontinyu. Ganjaran Allah swt kepada orang-orang yang mendawamkan sholat sunnah rawatib yaitu Allah swt akan membangunkannya rumah di Surga. Selain itu, bagi orang-orang yang mendawamkan sholat sunnah rawatib qobliyah shubuh (sholat sunnah fajar), maka Allah swt akan memberikan balasan yang jauh lebih besar dan lebih bernilai daripada dunia dan seisinya.

Ummu Habibah berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa Sholat dalam sehari semalam dua belas rakaat, akan dibangun untuknya rumah di Surga, yaitu empat rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah maghrib, dua rakaat sesudah Isya dan dua rakaat sebelum Sholat Subuh.” (HR Tirmidzi, ia mengatakan, hadits ini hasan sahih).

“Dari Aisyah ra, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Dua rakaat fajar (qabliyah subuh) itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR Muslim)

Minggu, 09 Januari 2011

Telaah politik dinasti di pemerintahan indramayu

Nampaknya istilah politik dinasti, tepatnya pasca era reformasi kini tengah mewabah di seantero jagad indonesia, dimulai dari tingkatan partai hingga pemerintahan, dari pemerintahan pusat hingga pemerintahan daerah. Beberapa pekan lalu, Media Indonesia dalam Rubrik Beritanya yang berjudul “ Politik Dinasti” sedikit banyak telah memaparkan apa yang disebut dengan politik dinasti dengan sedikit membedah jalur keturunan dinasti Yudhoyono, yang konon katanya Ani Yudhoyono kini tengah dipersiapkan untuk menggantikan posisi suaminya SBY sebagai Presiden Indonesia, terlepas hal ini benar atau tidak, ini semua dapat mencerminkan sistem monarki yang telah mengakar berabad-abad lamanya dalam setiap kerajaan yang ada di Indonesia telah menjadi watak, budaya, dan sekaligus ciri khas bangsa Indonesia. Hal ini juga terjadi di wilayah kabupaten Indaramayu, Iriyanto Mahfudz Shiddiq alias Yance mantan Bupati yang telah habis masa jabatannya, rupanya tak ingin membiarkan potensi politiknya berakhir di hari tuanya,berakhirnya masa jabatan secara administratif, bukan berarti berakhir pula masa kekauasaan. Diam-diam beliau mempersiapkan sang Isteri untuk menggantinya kelak setelah dirinya lengser, Yaitu Ana Sophana, dengan banyak mengikuti dan mengadakan kegiatan publik yang banyak diselenggarakan berbagai elemen pemerintahan maupun Swadaya masyarakat, maka dengan secara tidak langsung masyarakat dan segenap lapisannya akan mengenal Ana Sophana. Benar saja rupanya, memasuki waktu Pemilu Kada, tanpa mendapatkan persaingan berat, Ana dapat menyingkirkan saingannya dalam Pemilu-Kada, kesuksenan dan kemenangan Ana tentu saja bukan hal yang tak dapat di duga oleh beberapa pengamat politik daerah, karir politik sang suami yang telah menjabat selama dua periode sangatlah memiliki sumbangsih yang besar dalam kemenangan tersebut, karena telah di duga adanya permainan suara dari orang dalam yang menjadi bawahan yance saat masih menjabat sebagai Bupati. Fatalnya dalam kasus politik dinasti yang tak banyak dipahami oleh banyak kalangan masyarakat, tentu saja memiliki dampak yang signifikan, terakhir terdengar kabar bahwa mantan Bupati Yance tengah terjerat aliran dana suap atas pembebasan lahan dan pengadaan PLTU 1 milik manta Ketua Umum Golkar, yakni Jusuf Kalla. Selain itu juga dapat menyebabkan ketidakmerataannya pendidikan politik dalam sebuah daerah, karena rupanya selain isteri yang telah menjadi Bupati pengganti pasca dirinya, sang anak yakni Daniel Muttaqien juga telah suskes menjadi anggota legislatif. Kini saatnya mari kita pertimbangakan efek negatif dari merebaknya politik dinasti di tengah arus demokrasi yang kebablasan, karena dalam politik hal ini tentu manjadi hal yang sah dan boleh dilakukan oleh siapapun, namun apakah dalam teorinya hal ini memberikan pendidikan politik yang baik bafgi masyarakat sekitarnya, tentu saja tidak…… stidaknya dalam analisa penulis.